Isu BPJS Haram Kembali Mengemuka, Ini Tanggapan PERSI
Pemberitaan tentang dokter yang menolak menangani pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena alasan menghindari praktik riba, istilah yang berlaku dalam Islam untuk menyebut transaksi yang melibatkan sistem pengelolaan keuangan yang diharamkan, kembali mengemuka.
Sorotan itu muncul kembali setelah viral pemberitaan di media daring. Setelah ditelusuri, sang pasien menyimpulkan sikap dokter yang praktek di RS swasta itu setelah ia mengobrol dengan dokter usai proses pemeriksaan, yang kemudian ia sebarkan di media sosial.
Kepala Komparteman Public Relation (PR) dan Marketing Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anjari Umarjianto menegaskan, pada 2015, isu "BPJS haram" telah menasional. Menindaklanjuti simpang siur pemberitaan, saat itu, dilakukan pertemuan lintas institusi dan organisasi yang melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementrian Kesesahan, Kementrian Keuangan, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) serta Kementrian Agama.
"MUI memberikan tanggapan, sebaiknya dokter melayani pasien terlepas itu pasien BPJS Kesehatan atau bukan, sementara itu akan digodok BPJS Kesehatan syariah," ujar Anjari.
Anjari mengingatkan kalangan perumahsakitan, isu BPJS riba yang kembali mengemuka ini potensial mengangkat kembali perdebatan serupa pada 2015. "Namun demikian, agar menjadi terang, perlu memilih dan memilah isu. Ada tiga isu di sini, pertama hak pribadi dokter tentang suatu keyakinan. Kedua, manajemen RS dalam mengatur dokter yang memberikan pelayanan kepada pasien serta hukum BPJS secara syariah.
Dalam hal-hal tersebut, PERSI dapat mengambil peran dan langkah dalam hal membantu solusi bagaimana manajemen RS mengelola hubungan dokter - pasien," ujar Anjari.
Anjari mengingatkan, RS harus berhati-hati memberikan tanggapan kepada publik. Dokter sendiri, kata Anjari, mengutip Anggota Majelis Kehormatan Etika Rumah Sakit Indonesia PERSI Sintak Gunawan, dokter berhak saja menolak pasien karena kepercayaannya, asal itu sudah diberitahukan sejak awal.
Kondisi itu mirip dengan dokter yang menolak melakukan aborsi walaupun negara tempat dia berkarir menyetujui aborsi. Meski demikian, penerapan kepercayaan dokter hanya berlaku dalam kondisi tidak darurat, bila berada dalam situasi yang tak ada pilihan, dokter harus menolong pasien, siapa pun itu.
Anjari juga memaparkan poin-poin hasil pertemuan terkait isu BPJS haram, yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Majelis Ulama Indonesia (MUI), BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di Jakarta pada 4 Agustus 2015.
Pertama, telah dicapai kesepahaman para pihak untuk melakukan pembahasan lebih lanjut terkait dengan putusan dan rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang penyelenggaraan JKN oleh BPJS Kesehatan, MUI, pemerintah, DJSN, dan OJK.
Kedua, rapat bersepaham bahwa di dalam keputusan dan rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan, tidak ada kosa kata haram.
Ketiga, masyarakat diminta tetap mendaftar dan tetap melanjutkan kepesertaannya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, dan selanjutnya perlu adanya penyempurnaan terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional sesuai dengan nilai-nilai syariah untuk memfasilitasi masyarakat yang memilih program yang sesuai dengan syariah.