Kebijakan BPJS Kesehatan dalam Mengatasi Defisit JKN
- serial diskusi WAG PERSI -
Dalam era JKN ini, tejadi defisit yang bahkan menimbulkan anggapan RS melakukan pungutan yang tak pantas. Maka pilihan Kelas Standar dan Urun Biaya Terkendali perlu menjadi pertimbangan anggota PERSI dalam mengajukan usulan ke stakeholder lainnya. Jika merujuk pada sila Keadilan Sosial dalam Pancasila, maka urun biaya terkendali merupakan upaya menjaga keseimbangan hak dan kewajiban, untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Pasalnya, pertimbangan secara ilmiah sering kalah dengan pertimbangan secara politis.
Fakta yang terjadi beberapa tahun terakhir, ternyata lebih banyak masyarakat golongan menengah ke atas yang memanfaatkan BPJS. Dilihat dari jenis kasusnya, penyakit terbanyak yang diklaim oleh faskes kepada BPJS adalah penyakit katastrofik yang memang membutuhkan biaya sangat besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa program JKN defisit karena banyaknya kasus katastrofik, dimana penggunanya adalah masyarakat kelas menengah ke atas. Jika dibandingkan dengan kondisi global, Negara-negara yag telah menerapkan UHC umumnya tidak menerapkan kelas perawatan. Posisi BPJS kesehatan hingga saat ini masih Third Party Administrator.
Tafsir dalam peraturan yang diterbitkan pemerintah yaitu Kebutuhan Dasar dan Kelas Standar belum satu kata. Lalu muncul pertanyaan apakah pelayanan Kelas 3 bersifat inferior dan tidak memenuhi patient safety? Defisit bisa memicu munculnya moral hazard dan fraud. Keduanya merupakan tindakan oknum, bukan pelayanan kesehatan.
Untuk perusahaan publik, cash flow manajemen adalah keberhasilan manjaemen keuangan, hal ini jelas menjadi tantangan BPJS kesehatan. Factor yang bisa memicu kegagalan antara lain: pada perencanaan kas, manajemen piutang, dan tidak dilakukan mitigasi resiko sehingga tidak ada antisipasi saat terjadi kegagalan pengelolaan kas.
Perlu banyak edukasi kepada masyarakat terkait kapasitas Tempat Tidur di RS untuk pasien umum dan pasien JKN. Pelayanan publik harus bermutu, seimbang dan taat aturan.
Per Desember 2017, BPJS Kesehatan menerbitkan sejumlah kebijakan baru, diantaranya:
- Kunjungan pasien ke dokter yang sama maksimal selama 2 bulan. Setelah itu wajib rujuk balik ke faskes tingkat 1 (puskesmas/klinik). Jadi pengambilan obat boleh di puskesmas atau klinik atau apotik rekanan BPJS.
- Kunjungan dalam 1 bulan maksimal 4 kali
- Bila pasien menderita penyakit kronis pada kunjungan awal dan diperiksa oleh dokter spesialis mendapat, pasien bisa mendapatkan obat untuk kebutuhan per 1 minggu hingga kondisi stabil. Jika perlu dirujuk dari internal ke dokter spesialis (lain), maka dibuatkan surat pengantar rujukan sesuai ketentuan yang berlaku. Surat rujukan internal ini hanya berlaku 1 kali, lalu dokter tersebut membuat rekomendasi DPJP ke faskes tingkat 1. Jika sudah stabil maka bisa dirawat dokter umum di faskes tingkat 1., Jika tidak, maka harus ditulis berapa kali lagi periksa ke dokter spesialis di RS.
- Setelah kondisi stabil, diberikan obat 1 bulan dengan sistem peresepan 7+23 hari
Hal ini mendapat sambutan hangat dari anggota PERSI, namun dengan pertanyaan apakah obatnya tersedia di faskes 1, misalnya ARV?
Terkait kewenangan, antara medis dan administratif tidak bisa diberikan pada pihak yang sama. Usulan pembagian kewenangannya adalah sebagai berikut:
- Kemenkes sebagai regulator yang mengatur provider
- BPJSK sebagai penyelenggara juru tagih dan juru bayar sesuai regulasi
- RS sebagai provider memberi pelayanan sesuai regulasi
Untuk pelaksanaan JKN di daerah, perlu dipertimbangkan lagi antara pengeluaran biaya kesehatan daerah dengan APBD daerah, karena masih ada daerah yang mengalami defisit.
Pasal 44 UU RS No 34 Tahun 2009 menyebutkan bahwa syarat agar seseorang dapat diakui memahami perumahsakitan antara lain:
- S2 perumahsakitan
- Pengalaman kerja, bukti melalui portofolio
- Pelatihan
- Seleksi terbuka (fit and proper test)
Namun belum ada Permenkes yang mengatur hal ini.
Pada Bulan Desember 2017 yang lalu, Menteri Kesehatan pernah menyatakan bahwa banyak RS yag masih inefisien. Namun ternyata ada banyak sekali penyebab inefisiensi, salah satunya adalah fraud. Lalu ada saja pendapat yang kesannya membenarkan fraud, salah satunya karena tarif yang rendah.
Catatan akhir tahun terkait klaim agar tidak terjadi penumpukan klaim yang menunggak (belum dibayar BPJS K):
- Klaim yang terverifikasi dan jatuh tempo
- Klaim yang terverifikasi belum jatuh tempo
- Klaim yang bermasalah
- Klaim yang menunggu klarifikasi
Upaya yang diusulkan anggota PERSI agar RS di seluruh Indonesia ialah pihak RS mau aktif menyimak buku akuntansi RS yang diterbitkan PERSI dan aktif dalam WAG Persi Akuntansi RS. Lalu bisa dibuat software yang menunjang, yaitu petunjuk pemakaian dan akuntansi.
PERSI juga sedang menyusun buku Pedoman Manajemen Keuangan dan Akuntansi RS, yang harapannya bisa diterbitkan pertengahan 2018.
Permasalahan dalam JKN yang lain ialah pasien harus sudah memilih akan menggunakan asuransi kesehatan umum atau menggunakan manfaat JKN. Pasalnya, ada kasus yang terjadi pasien berpindah dari asuransi umum ke JKN saat perawatan. Sayangnya kasus ini terjadi di RS swasta dengan pasien menengah ke atas. Hal ini dapat saja mengganggu sistem akuntansi RS.
Bahkan BPJS Kesehatan pun terancam dirugikan jika pasien berpindah dari pasien umum ke pasien JKN di tengah fase perawatan. Pasalnya, BPJS Kesehatan harus membayar melebihi yang seharusnya didaftarkan awal.
Visi yang diinginkan BPJS Kesehatan ialah masyarakat yang mampu atau kelas menengah ke atas dapat mendanai pelayanan kesehatannya secara mandiri, agar terjadi gotong royong. Pasien yang masuk ke RS harus menyatakan dan membuktikan sebagai pasien JKN dalam 3x24 jam.
Asuransi non JKN, lebih praktis karena bebas memilih dokter di RS, dokter juga bebas menentukan pemeriksaan dan obat. Apalagi di PPK 1 lebih nyaman.
Basis yang digunakan antara asuransi umum dan BPJS Kesehatan berbeda, yaitu asuransi umum membayar sesuai biaya yang timbul dan BPJSK membayar sesuai diagnosis.
Sudut pandang perpindahan kelas pasien tersebut rawan resiko double funding karena tidak sesuai aturan. Pelayanan publik selalu melihat aturan dalam mengelola keuangannya. Sementara sektor swasta dapat mengambil keputusan kapan saja. (direngkum oleh Tim PD-PERSI)