Diskusi Panel Ke-VI INDO HCF : Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Era JKN
Diskusi Panel INDO HCF Keenam Harapan, Kenyataan dan Solusi JKN dengan topik Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Era JKN telah digelar pada Kamis (25/8/2016) pukul 13.00-16.00 Wib di Ruang Aula, Dinkes DKI Jakarta. Acara dibuka oleh Kadinkes DKI Jakarta yaitu Dr. dr. Koesmedi Priharto, SpOT, M. Kes. Kemudian, sambutan disampaikan Ketua PERSI, Dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M. Kes dan Ketua IKKESINDO serta INDO HCF, Dr. dr. Supriyantoro, Sp. P, MARS. Pembicara dalam acara ini antara lain: Drs. T. Bahdar Johan, H, Apt. M. Pharm (Deputi Bidang Pengawasan Produk Teraupetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Badan Pengawasan Obat dan Makanan) serta Drs. Bayu Tedja Muliawan, Apt., M.Pharm., MM (Direktorat Pelayanan Kefarmasian Ditjen Farmalkes).
Isu yang muncul seputar perbekalan farmasi masih banyak di sektor obat. Ada obat tertentu yang langka atau harganya mahal. Umumnya hal ini terjadi karena stok yang memang kosong. Umumnya, jika stok obat kosong di e-katalog, tenaga marketing perusahaan farmasi akan berkeliling antar RS untuk menjual obat yang dimaksud dengan harga pasar (harga e-katalog ialah harga yang diterapkan secara nasional oleh pemerintah). Terdapat juga kebijakan lelang harga obat dan per daerah, tentu saja hal ini membatasi jumlah pembelian yang dapat dilakukan faskes di suatu daerah. Beruntung, saat ini obat bisa dibeli dari daerah tetangga yang memang berlebih, tegas Supriyantoro. Bahdar Johan menyatakan untuk obat yang sering tidak ada diakses, besar kemungkinan karena pihak faskes tidak memberikan rencana kebutuhan obat saat pengumuman lelang. Sehingga, jumlah yang diproduksi tidak seimbang dengan yang dibutuhkan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk seluruh pihak terkait.
Harga obat yang ditekan agar lebih rendah (saat ini) menimbulkan prasangka mutunya akan buruk, ungkap Kuntjoro. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi, mengingat kemungkinan bahan yang digunakan untuk meracik obat tidak sama dengan produksi terdahulu. Bahdar Johan dari BPOM akan melakukan cek terhadap mutu obat yang diberikan kepada pasien. Bahdar juga menyatakan, BPOM dapat memberikan sanksi serta hukuman untuk perusahaan farmasi/obat yang ternyata mencederai pasien atau melakukan tindakan curang pada RS, hal ini bisa dilakukan jika BPOM menerima laporan dari masyarakat atau RS. Nomor yang dapat dihubungi jika mengalami keluhan terkait obat, baik stok kosong, mutu buruk atau yang lain ialah Customer Service BPOM di nomor 08111701303 atau 1000533.
Bayu Tedja (Ditjen Farmalkes) menjelaskan, salah satu prosedur yang akan dilakukan BPOM dalam pemberian sanksi ialah melihat faktur pembelian obat di RS. Sebagai contoh, untuk vaksin palsu yang beredar beberapa waktu lalu, setelah ditelisik, RS melakukan pembelian ke distributor tidak resmi. Sisi negatifnya, vaksin palsu disinyalir dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan anak. Sementara sisi netralnya ialah RS swasta sudah tidak bisa mengakses vaksin tersebut ke distributor resmi namun kebutuhan sangat besar.
Isu lain yang muncul ialah terbatasnya akses RS swasta dalam e-katalog, hal ini diakui RS Hermina Jakarta dan salah satu RS swasta dari Jakarta. Terkait isu ini, Bahdar Johan, Kuntjoro dan Supriyantoro sepakat pemerintah (Kementrian Kesehatan) harus mengeluarkan regulasi khusus untuk menangani hal ini.
Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan ialah BPOM dan Ditjen Farmalkes Kemenkes akan mengajak asosiasi profesi untuk duduk bersama, kebutuhan obat apa saja yang harus ada (minimal obat dasar) dan berapa jumlahnya. Selain itu, Bayu Tedja menyarankan pembelian obat dasar seperti betadine dan alkohol bisa dilakukan dalam jumlah besar misal untuk 3 bulan ke depan. Namun, hal ini tidak bisa dilakukan untuk obat penyakit kronis. Sebaiknya pembelian untuk obat kronis dilakukan tiap 2-4 minggu sekali.
Seluruh isu ini menunjukkan belum adanya koordinasi yang baik diantara stakeholder terkait. Maka, dibutuhkan Satuan Tugas (SATGAS) khusus untuk menangani komunikasi dan koordinasi kebutuhan dan ketersediaan stok obat di masa datang. SOP dalam perbekalan farmasi dan teknis medis ini tidak dibuat oleh Kementrian Kesehatan dan BPJS, namun oleh asosiasi profesi (W).