Diskusi Panel Ke-V INDO HCF : Profesionalisme Dokter Versus Kendali Mutu dan Biaya Pelayanan Pasien RS di Era JKN.
Pola pemikiran tenaga medis (dalam hal ini dokter) harus diubah dari fee for service menjadi remunerasi. Hal ini merupakan salah satu poin menarik yang muncul dalam Diskusi Panel Kelima INDO HCF yang digelar pada Rabu, 20 Juli 2016 pukul 13.00-17.00 Wib dari RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Pasalnya, banyak dokter spesialis yang menyatakan bahwa remunerasi membuat pendapatan dokter berkurang banyak. Menariknya, RS Tarakan misalnya, setelah dugaan ini diteliti dan dilakukan pemeriksaan data, ternyata banyak dokter yang terlalu boros dalam menggunakan alat kesehatan (obat dan lain-lain), ungkap Dr. dr Koesmedi Priharto, SpOT, M. Kes (mantan Dirut RS Tarakan). Remunerasi ini perlu dikawal asosiasi profesi kesehatan dan Kementrian Kesehatan. Faktanya, remunerasi ini sangat tergantung pada kondisi di masing-masing RS, jadi besarannya tidak akan sama. Prof. Budi Sampurna menegaskan, jajaran manajemen RS di seluruh Indonesia harus satu suara dalam menerapkan renumerasi ini.
Selain remunerasi, disinggung pula soal vaksin palsu. Dr. dr. Supriyantoro, Sp. P, MARS, Ketua Umum IKKESINDO dan Ketua INDO HCF menyatakan, kasus vaksin palsu ini banyak menyoroti “dokter yang melakukan kesalahan”. Namun, kita lupa bahwa RS-lah yang melakukan pembelian atas vaksin tersebut. Hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa banyak RS yang mengejar akreditasi RS namun kurang memperhatikan Standar Operasional dan Prosedur dalam kerjanya. Selain dua isu di atas, dibahas pula perlunya menerapkan clinical pathway di masing-masing RS. Dengan menerapkan clinical pathway, harapannya tidak akan tejadi malpraktik dan kesalahan pemberian pelayanan lainnya.
Tiga isu ini sangat terkait dengan tema yang diangkat yaitu Diskusi Panel Kelima INDO HCF: Harapan-Kenyataan dan Solusi; Profesionalisme Dokter Versus Kendali Mutu dan Biaya Pelayanan Pasien RS di Era JKN. Penyelenggara diskusi ini ialah INDO Healthcare Forum/HCF ( CSR PT IdsMed), IKKESINDO, PERSI dan PKMK FK UGM sebagai fasilitator webinar. Melalui webinar, harapannya diskusi ini bisa diakses dari seluruh nusantara, terutama dapat diakses oleh asosiasi profesi kesehatan, pihak RS, tenaga medis dan yang terkait.
Forum menyepakati bahwa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengharuskan agar tenaga medis dan provider kesehatan untuk mengubah kuratif menjadi promotif dan preventif. Namun, perubahan ini belum banyak dilakukan di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk seluruh pihak. Masukan lain muncul dari Oki Putri (perwakilan Dewan Jaminan Sosial Nasional/DJSN) antara lain, pertama, kita membutuhkan penataan ulang payment mechanism dan purchasing power (suprasystem). Kedua, perlu ditetapkan tarif optimal sehingga ada ruang BPJS dan provider untuk melakukan negosiasi tarif. Ketiga, asosiasi dan Kementrian Kesehatan perlu menyusun standar pelayanan. Misalnya apakah clinical pathway akan dipaksakan untuk diterapkan? Jika iya, maka penerapan ini membutuhkan payung hokum. Terakhir, perlu upaya bersama secara kompak dalam mencapai universal health coverage (UHC), hal ini dilihat dari ada keinginan untuk berubah dari provider, para pemberi pelayanan kesehatan dan pihak-pihak yang terkait. Sementara, perwakilan BPJS menyatakan sejumlah hal menarik, yaitu bagaimana kita beradaptasi dengan perubahan di era JKN ini, bagaimana mengoptimalkan tariff remunerasi yang sudah ada dan BPJS membuka data pelayanan agar dapat diakses banyak pihak. Harapannya, jika pihak luar bisa mengakses data layanan BPJS, maka kinerja BPJS, provider dan tenaga medis dapat ditingkatkan bersama-sama (Wid).