18 Apr2019
Apotik RS Belum Bisa Keluarkan Obat Kanker, Kemenkes Diminta Tanggap Merespon
Jakarta - Kementerian Kesehatan didesak melakukan langkah konkrit terkait penundaan keputusan pencabutan beberapa obat terapi target kanker. Pasalnya, belum ada langkah konkrit terkait penundaan keputusan pencabutan beberapa obat terapi target kanker yang dijanjikan langsung oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPR pada 11 Maret lalu.
"Belum adanya surat sebagai tindak lanjut RDPU itu membuat pasien kanker tak bisa mendapatkan obat. Kami para ahli bedah digestif yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan pasien kanker kolorektal merasa terpanggil melihat pasien tidak mendapatkan haknya atas obat dari BPJS Kesehatan karena belum ada edaran dari Kementerian Kesehatan untuk membatalkan keputusannya mencabut beberapa obat targeted therapy untuk kanker, termasuk kanker kolorektal," ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (IKABDI) dr. A. Hamid Rochanan, SpB-KBD, MKes dalam siaran pers IKABDI, Selasa.
Hamid menjelaskan, IKABDI sudah berkomunikasi dengan para pejabat berbagai tingkatan di Kementerian Kesehatan mempertanyakan tidak adanya sosialisasi khusus mengenai penundaan pencabutan beberapa obat targeted therapy kanker.
"Karena pembatalan itu sudah berlaku melalui SK Menteri Kesehatan pada 1 Maret 2019, maka harus ada surat pembatalan sebagai pegangan. Ketika Menteri Kesehatan dalam RDPU dengan Komisi IX pada Senin 11 Maret 2019 mengatakan akan menunda pelaksanaan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/707/2018, seharusnya ada sosialisasi surat tertulis kepada rumah sakit-rumah sakit agar mereka punya pegangan untuk meresepkan obat yang sudah dicabut oleh surat yang berlaku sejak 1 Maret 2019 itu."
Hamid memaparkan, sekalipun dokter sudah meresepkan obat terapi target untuk diberikan kepada pasien, tapi pada kenyataannya pihak RS dan BPJS tidak memberikan obat tersebut. "Padahal, Bu Menteri mengatakan bahwa pasien akan tetap dilayani dengan kondisi seperti sebelum adanya surat pencabutan itu. Namun kenyataannya, berdasarkan informasi di lapangan, dari 30 RS yang menangani pasien kanker kolorektal hingga pekan ini ada sekitar 75 pasien yang tidak terpenuhi haknya untuk dilayani dengan semestinya," ujar Hamid.
Akibatnya, kata Hamid, pasien kesulitan untuk mendapatkan obatnya. Sementara salah satu pasien kanker kolorektal, Aisyah mengaku kesulitan mendapatkan obat yang batal dicabut oleh Kementerian Kesehatan.
"Begitu sampai ke farmasi Rumah Sakit Dharmais, saya diinformasikan bahwa obat kanker kolorektal yang biasa saya konsumsi tidak ditanggung lagi oleh BPJS Kesehatan. Infonya dari farmasi bahwa ada pencabutan dari Menteri Kesehatan," kata Aisyah.
Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli menyatakan kecewa terhadap Kementerian Kesehatan. "Tidak adanya surat tersebut sama saja melakukan pembiaran atas kondisi yang tidak menguntungkan bagi pasien untuk mendapatkan obatnya. Dalam pengalaman kami selama ini menyuarakan hak pasien, seharusnya keluarnya surat penundaan pencabutan ini bisa keluar dalam waktu singkat. Kami jadi bertanya-tanya kenapa surat yang menguatkan pernyataan Ibu Menteri di DPR ini lama sekali keluarnya hingga pasien tidak bisa mendapatkan haknya atas obat yang layak," ujar Yanthi.(IZn-persi.or.id)