DJSN: Agar Kualitas Layanan RS Terjaga, Pemerintah Harus Segera Tutup Defisit BPJS Kesehatan
Jakarta - Seluruh sistem keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus diperbaiki, mulai besaran iuran, pembiayaan fasilitas kesehatan, hingga persiapan dana cadangan agar bisa berkelanjutan.
Perbaikan harus dimulai dari penentuan paket layanan kesehatan yang akan diberikan pada peserta, penentuan tarif pembiayaan dan besaran iuran peserta. Seluruh komponen keuangan itu harus sesuai antara pemasukan dengan pengeluaran agar terjadi keseimbangan.
Nilai iuran yang sesuai dengan nilai aktuaria, akan menghindarkan BPJS Kesehatan dari defisit. Bahkan, bisa mendapatkan keuntungan bila pembiayaan lebih sedikit dari total iuran masuk.
Demikian diungkapkan Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Zainal Abidin, belum lama ini.
"Juga harus ada dana cadangan, tarif diperbaiki, iuran diperbaiki. Jika semuanya sudah baik, normal, terkendali, iuran yang masuk bisa menjadi saldo BPJS. Dan tidak usah khawatir karena ini jaminan sosial, kalau ada keuntungan akan dikembalikan ke peserta dalam bentuk pelayanan," kata Zainal.
Terkait defisit BPJS Kesehatan saat ini, lanjut Zainal, pemerintah harus sesegera mungkin memberikan suntikan dana. "Semakin lama klaim rumah sakit dan obat-obatan yang tidak dibayarkan oleh BPJS Kesehatan akan berdampak kepada kualitas layanan dan berpengaruh bagi kesehatan masyarakat dan bahkan bisa mengancam jiwa pasien."
Guna memacu tingkat kolektibilitas iuran BPJS Kesehatan yang saat ini masih belum optimal dan sangat perlu ditingkatkan, Zainal menilai, hal tersebut terjadi karena tidak ada sanksi pada peserta yang tidak melaksanakan kewajibannya. "Ada kewajiban, tetapi tidak ada sanksi, seharusnya ada sanksi, seperti tidak bisa bikin SIM atau lainnya. Namun, ini seharusnya diatur oleh sistem regulasi yang lebih kuat, bukan semata BPJS," ujar Zainal.
Aturan yang selama ini berlaku, kata Zainal, yaitu Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, menyebutkan BPJS Kesehatan hanya memberikan sanksi berupa teguran tertulis dan denda 0,1 persen kepada peserta yang menunggak iuran.
Sanksi yang lebih berat, lanjut Zainal, yang bisa jadi pilihan untuk memaksa peserta agar tidak menunggak iuran yaitu tidak bisa mengakses layanan publik seperti pembuatan SIM, Paspor, Izin Mendirikan Bangunan, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). (IZn - persi.or.id)