Bom Waktu Lain Bernama Limbah Medis
Limbah medis menjadi isu penting tersendiri diluar kusutnya pengelolaan sampah diseluruh dunia. Bahkan permasalahan pengelolaan limbah medis fasilitas kesehatan sudah menjadi masalah laten yang perlu ditangani secara khusus.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang saat ini memiliki 78 rumah sakit dan 121 puskesmas diperkirakan memproduksi timbulan limbah medis sebesar 4008 kg/hari. Potensi bahaya limbah tersebut perlu dikelola secara tepat untuk mencegah timbulnya masalah kesehatan dan lingkungan.
Direktur Kesehatan Lingkungan Ditjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes dr.Imran Agus Nurali,Sp.KO., menyebutkan masih limbah medis yang belum dikelola jumlahnya masih sangat besar. Volume limbah medis yang berasal dari 2.820 rumah sakit dan 9.884 puskesmas di Indonesia mencapai 290-an ton per hari.
“Itu belum termasuk dari klinik-klinik, unit transfusi dan apotek pun punya limbah medis. Sementara tempat untuk pengelolaan limbah medis masih sedikit dan kapasitasnya juga terbatas,” tuturnya, Kamis (15/8/2019) saat konferensi pers kuliah perdana Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM terkait pengelolaan limbah medis.
Ia menyampaikan hingga saat ini baru ada 10 jasa pengelolaan limbah medis berijin di Indonesia dengan kapasitas pengelolaan limbah 170-an ton per hari. Sementara itu baru ada 87 rumah sakit yang memiliki alat incinerator untuk mengolah limbah medisnya sendiri dengan kapasitas 60-an ton per hari.
“Jika ditotal kapasitas penglolaan limbah medisnya 220 ton per hari, sedangkan limbah yang dihasilkan secara nasional 290 ton perhari. Jadi masih ada gap timbunan 74 ton limbah medis per hari yang belum dikelola,”paparnya.
Menurutnya terbatasnya jasa pengelolaan limbah ini menjadi salah satu penyebab banyaknya limbah medis yang tidak terkelola. Karenanya pihaknya bersama dengan KLHK mendorong pemerintah provinsi dan pemda untuk melakukan pengelolaan limbah medis berbasis wilayah bekerjasama dengan pihak swasta.
“Ini mudah-mudahan bisa menyelesaikan tidak keseluruh wilayah cukup dibatasi di satu wilayah. Jogja kita harapkan juga berbasis wilayah provinsi Jogja sendiri, jadi salah satu model pengolahan limbah medis nantinya,” terangnya.
Selain itu Kemenkes juuga mendorong pemilahan limbah medis untuk mengurangi kapasitas limbah yang masuk ke incinerator . Tak hanya itu, rumah sakit juga diharapkan dpat menggunakan teknologi pengelolaan sampah tanpa incinerator , misalnya microwave yang dapat mengurangi volume limbah medis di pihak ke-3.
Sementara Sekjen PERSI Pusat, Dr. dr. Lia Gardenia Partakusuma, Sp.PK(K), MM., MARS., FAMM., mengatakan pengelolaan limbah medis perlu dilakukan agar tidak membawa dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. Salah satunya rumah sakit melakukan pengelolaan limbah sendiri dengan incinerator.
“Langkah lain bagi rumah sakit yang tidak bisa mengelola limbahnya sendiri bisa kerja sama dengan pihak ke-3 yang sudah berijin,” tuturnya.
Lia menyampaikan kerja sama dapat dilakukan dengan transporter atau pihak pengangkut dan pengolah limbah. Hingga saat ini terdapat 100 transporter berijin dan 10 pengelola limbah medis berijin.
“Untuk pengelola limbah medis memang masih sedikit, 10 se-Indonesia dan ini banyak di Pulau Jawa,” terangnya.
Lia menegaskan pengelolaan limbah medis ini penting dilakukan sebab jika tidak tertangani dengan baik dapat menimbulkan berbagai dampak negatif baik bagi lingkungan mapun kesehatan masyarakat. Salah satunya dalam jangka panjang bisa menimbulkan penyakit kanker. (yve)
Sumber : Koran Bernas