Penyakit Kronis Dalam Bisnis Limbah Medis
JAKARTA – Temuan penampungan limbah medis ilegal di tempat pembuangan sementara (TPS) Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada akhir tahun 2017, menjadi kasus persoalan limbah medis yang paling menggemparkan publik. Bisnis ‘haram’ yang sudah berlangsung sejak tahun 2011 tersebut, sukses menimbun limbah medis yang jumlahnya mencapai puluhan ton.
Ironisnya, timbunan limbah medis di sana tak hanya bersumber dari rumah sakit yang berada di Jawa Barat saja. Ada pula limbah yang didatangkan dari Jakarta, Surabaya, Jawa Tengah, sampai Lampung.
Di TPS tersebut ditemukan berbagai alat kesehatan bekas pakai. Jarum suntik bekas, selang infus bekas, sampai tabung sampel darah yang masih ada sisa darah terlihat berserakan. Bahkan, ada pula bekas vaksin Hepatitis B dan tabung darah yang bertuliskan HIV/AIDS. Tidak lupa, pada limbah alat kesehatan tersebut juga masih menempel label rumah sakit terkait.
Warga sekitar bukannya enggan untuk melaporkan bisnis ilegal ini. Hanya saja, mereka takut oleh ancaman dan intimidasi dari para pekerja dan oknum TNI yang membekengi bisnis tersebut. Akibatnya, selama tahunan warga terpaksa bertahan dengan bau menyengat dari tumpukan limbah di TPS tersebut, sampai bisnis ini akhirnya terkuak pada 2017 lalu.
Tapi, kasus yang terjadi di Cirebon ini hanyalah satu dari banyak kasus serupa terkait pengelolaan limbah medis yang terjadi sebelumnya. Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo mengatakan, banyaknya kasus pengelolaan limbah medis inimengindikasikan masih adanya persoalan kebijakan, terutama soal integrasi. Selama ini, belum ada integrasi yang baik antara pihak di hulu dan pihak di hilir.
“Misalnya integrasi antara perencanaan pengembangan pusat-pusat layanan kesehatan dengan layanan pengelolaan limbah medis,” katanya kepada Validnews, Kamis (28/2).
Maka dari itu, Henri pun mendorong pemerintah pusat, juga pemerintah daerah (pemda), untuk meningkatkan fungsi pengawasan dan penindakan.“Sistem monitoring dan pengawasan setiap rantai pengelolaan perlu ditingkatkan. Misalnya dari sumber limbah, pengumpulan, penyimpanan, pengangkutan, hingga pengolahan,” tegasnya.
Pengawasan pengelolaan menjadi penting karena limbah medis berisiko menularkan penyakit infeksius. Pengelolaan limbah yang salah bisa sangat mengancam kesehatan masyarakat, baik pekerja yang menangani limbah, maupun warga sekitar. Sebagai contoh kasus limbah medis di Cirebon yang nyatanya menampung limbah medis paling berbahaya bagi kesehatan manusia.
Sushma Rudraswam, dkk dalam jurnalnya pada tahun 2014 yang berjudul Hazards and Public Health Impacts of Hospital Waste menjelaskan, risiko penularan penyakit dari limbah infeksius dan benda tajam patogen ke tubuh manusia, dapat terjadi melalui beberapa cara. Di antaranya melalui tusukan, luka di kulit, selaput lendir, udara, dan menelan.
Adapun penyakit yang sangat berisiko tertular dari pengelolaan limbah medis yang tak sesuai aturan di antaranya HIV/AIDS, hepatitis B dan C, infeksi kulit, serta lainnya.
Bahaya dari limbah medis tersebut dikarenakan karakteristik yang terkandung di dalamnya, seperti kandungan genetik, bahan kimia beracun, radioaktif dan benda tajam. Oleh karenanya, prosedur pengelolaan yang ilegal, bukan tidak mungkin dapat dengan mudah menularkan penyakit pada warga sekitarnya.
Berkaca dari data World Health Organization (WHO) di tahun 2018, sebanyak 85% dari jumlah keseluruhan limbah medis yang dihasilkan oleh layanan kesehatan di dunia memang adalah limbah domestik atau yang tak berbahaya. Namun, 15% selebihnya merupakan limbah medis berbahaya yang dapat menular, dan mengandung bahan kimia atau radioaktif.
WHO sendiri menyebutkan, diperkirakan ada 16 miliar suntikan setiap tahunnya diberikan di seluruh dunia. Akan tetapi, tidak semua jarum dan jarum suntik dibuang dengan benar setelah digunakan. Bahkan, menurut WHO, pada layanan kesehatan di negara-negara dengan pendapatan rendah, sering tak memisahkan limbah medis yang berbahaya dan tidak berbahaya.
Sumber Informasi Selengkapnya